Friday, November 2, 2012

Ketika Waktu Harus Memilih


Ketika waktu harus memilih, dan ketika pilihan itu bukan tertuju padaku, ketika itulah aku sadar bahwa kita tidak dapat selalu memiliki apa yang kita inginkan. Termasuk kamu, cinta pertamaku.
            Hari kelulusan, kesempatan terakhir bertemu dengannya, mungkin kami akan bertemu kembali, mungkin. Jika waktu mengijinkan. Tiga tahun telah kulalui dengan segala suka dukanya di sekolahku tercinta bersama teman-temanku dan khususnya sahabatku tercinta.

            “ Rene, kamu udah liat pengumuman di Fakultas X itu belum? Kalo belum tar kita liat sama-sama, tapi pake mobilmu ya? Ehehe,” kata Olan membuyarkan lamunanku.
            “ Alah, dasar kamu! Bilang aja mau nebeng! Wu!” candaku, setelah itu kembali memandangi wajah pria tersebut.
            “ Kamu liatin apa sih? Ooo orang itu, still that person, huh? When will you move to another person, babe? “ kata Olan lagi.
            “ I’m still loving him Olan, since 3 years ago until this time, don’t know when I can stop this damn feeling, maybe when I get someone which can make everything look so pretty when I just look into his eyes,” jawabku tanpa memalingkan tatapanku dari orang tersebut.
            “Hey! Irene ! ada yang salah denganku ?” teriak Gio.
            “Look Irene, now he comes to you, stop flirting at him!” bisik Olan menyadarkanku.
            “Oh no! Olan, help me!”
            Setelah itu Gio hanya melempar senyum ke arahku. Senyum itu lagi, senyum yang selama tiga tahun terakhir menghiasi hari-hariku. Senyum yang selalu bisa menyapa bibir mungilku untuk ikut tersenyum.
            Waktu serasa berjalan begitu cepat, semua terjadi tanpa sengaja. Kesengajaan terindah terjadi ketika waktu tiba-tiba mempertemukan kami, 3 tahun lalu di ruang olahraga ketika dia mentertawakanku akibat dari ulah tololku memukul Olan dengan tongkat Softball. Ketika itulah dia membantuku membawa Olan ke UKS, disana dia mengajakku berkenalan. Dia yang mengaku bernama Gio, dan aku mengaku pada diri sendiri bahwa aku menyukainya orang ini, semacam love in the first sight.
            Sejak itu Gio dekat denganku dan Olan, sebenarnya hanya Gio dan Olan yang dekat, aku hanya sekali dua kali ikut mereka nongkrong, karena memang ada urusan dengan Olan, dan mengobati rasa kangenku melihat senyum maut Gio. Semakin lama kami bersama, rasa ini semakin menjadi-jadi, aku pun mengungkapkan semua ke Olan. Olan benar-benar kaget mendengar semuanya. Ternyata Gio juga sedang menyukai seseorang, namun Gio tak memberitahu Olan siapa orang beruntung tersebut.  Semua terasa hampa, sepi, sunyi, mati, ketika aku harus menghadapi kenyataan pahit itu. Gio telah menyukai orang lain.
            Sejak kejadian itu, sedikit demi sedikit aku menjauhi Gio. Olan sepertinya mengerti dengan sikap anehku saat itu. Dia pun selalu menemaniku kemana pun aku pergi. Pernah suatu kali, ketika kelas XI aku tak sengaja melihat seorang kakak kelas memberikan Gio bunga secara langsung. Semenjak itu aku mengambil kesimpulan bahwa kakak kelas tersebut adalah orang yang Gio tunggu. Kini aku benar-benar menjauh. Gio sadar bahwa aku menjaga jarak dengannya. Tidak henti-hentinya dia berusaha menghubungiku, tetapi aku punya segudang alasan untuk menolak.
            Penyesalan selalu datang terakhir. Ya, aku tak bisa memungkiri kalimat itu. Semakin aku mencoba melupakan Gio semakin kuat rasa ini mengikatku. Sampai hari ini, hari kelulusan, aku berencana mengungkapkan semua pada Gio. Aku tak peduli dia sudah memiliki seseorang yang mendapingi hari-harinya. Aku hanya ingin meluapkan semua rasa yang ku pendam tiga tahun ini. Aku berencana memberitahu Gio setelah acara kelulusan berakhir. Namun semua terlambat, ternyata setelah pemberian ijazah Gio langsung berangkat ke bandara. Salah satu teman sekelasnya memberitahu Olan bahwa Gio pindah ke luar negeri melanjutkan untuk melanjutkan pendidikan. Rencana gagal, hati ini kembali hampa, sepi, sunyi, mati.
            “Mbak Irene! Ada yang nyari tuh, katanya udah buat janji sama mbak,” teriak Wina.
            “Siapa, Win? Olan kan jam segini belum pulang biasanya,” jawabku.
            “Kayaknya sih pelanggan baru, mbak,” sahut Wina.
            Dengan langkah gontai aku menuju ke depan butikku. Aku tersentak. Apa benar yang aku lihat? Senyum maut itu lagi? Ya! Aku tak salah lagi.
            “Gio?” panggilku.
            “Irene! Astaga! Aku tak menyangka bertemu denganmu lagi! Sudah 5 tahun berlalu! Dan sekarang, see? You look more beautiful Irene!” seru Gio sambil memelukku.
            “Thanks Gio. Kenapa kamu bisa ada disini? Bukannya kamu di luar negeri?” tanyaku sambil mempersilahkan Gio duduk.
            “Aku sudah menyelesaikan studyku disana, Rene. Aku melanjutkan usaha ayahku di Indonesia. Aku kemari bertujuan untuk meminta bantuanmu mendesigne sebuah gaun untuk kado ulang tahun adikku,” jelas Gio panjang lebar.
             “Waw, my pleasure. Mau design seperti apa?”
            Setelah pertemuan singkat itu, kami jadi sering bertemu karena aku harus selalu memberi kabar mengenai perkembangan gaun milik adik Gio, apakah sesuai dengan harapannya atau tidak. Aku sangat menikmati saat-saat itu. Ketika kita hanya melihat ke design gaun dan aku tanpa sengaja melihatnya tersenyum, masih senyum mautnya. Rasa itu masih tersimpan rapi di lubuk hatiku yang terdalam. Dan kini rasa itu meledak kembali. Olan sudah tau tentang kejadian ini, dia selalu bersemangat mendengar keping demi keping ceritaku.
            Gaun milik adik Gio sudah siap. Aku akan mengantarkan langsung ke tempat acara ulang tahunnya. Gio sudah memberiku alamatnya. Aku berjanji datang bersama Olan, tapi sepertinya Olan terlmbat, dan aku memutuskan untuk pergi duluan ke acara tersebut. Sampai di tempat tersebut aku disambut oleh adik Gio, ternyata Gio sudah bercerita bahwa aku akan datang, dan ternyata adik Gio merupakan salah satu penggemar design-design bajuku. Dia mengajakku untuk mencari Gio. Namun ada yang aneh, semua bernuansa putih, yang aku tau adik Gio menyukai warna jingga. Bukankah ini acara ulang tahun adik Gio? Tapi mengapa bukan bernuansa jingga?
            “Oh ya, Gia. Mengapa nuansa acara ulang tahunmu putih? Bukannya warna kesukaanmu jingga?” tanyaku penasaran.
            “Yap! Kakak benar, warna kesukaanku jingga. Tapi hahaha, kakak lucu sekali, masa acara nikahan nuansa jingga? Kan yang biasanya tu putih. Ohya kak Gio nggak ngasi tau kakak ya? Ulang tahunku kemarin kakak, sekarang hari pernikahan kak Gio. Kakak benar-benar gak tau ya? Aku ceritakan satu rahasia kak Gio. Lima tahun yang lalu ketika kak Gio masih SMA ada seorang wanita yang benar-benar dia suka, Salah seorang temannya mengatakan bahwa wanita itu sudah menyukai orang lain. Sampai hari kelulusan tiba, dia berencana mengungkapkan perasaannya, tapi kak Gio tak sengaja melihat wanita itu berpegangan tangan dengan seseorang yang kak Gio sebut bernama Olan. Asal kak Irene tau, Kak Gio benar-benar hancur. Kuliah yang sebenarnya bisa dia selesaikan dalam waktu tiga tahun akhirnya dia selesaikan dalam waktu lima tahun. Akhirnya hari ini derita kak Gio berakhir. Dia sudah bertemu kak Jenny yang bisa merubah hidupnya menjadi lebih indah. Aku benar-benar ingin tau siapa wanita yang kak Gio cintai di masa SMAnya, ” jelasnya panjang lebar.
            Hatiku terguncang. Kenyataan ini kembali membunuhku. Untuk terakhir kalinya, rasa ini akan selalu hampa, sunyi, sepi, mati.

           
17 Mei 2012, 10:41 PM
           

           

0 comments:

Post a Comment